Hannover Messe untuk pertama kalinya mengadakan kategori Startup Hermes Award pada tahun 2020. Dewan Juri yang diketuai Prof. Dr. Reimund Neugebauer, Presiden Pusat Penelitian Frauenhofer-Gesellschaft memilih startup PT. Mitra Sejahtera Membangun Bangsa asal Indonesia, yang memiliki konsep Smart Farming 4.0, sebagai pemenang pertama Hermes Award kategori Startup pada tahun 2020 senilai 10.000 euro.
Startup Indonesia itu mengembangkan konsep yang memberi jalan keluar bagi petani dalam menghadapi tantangan perubahan iklim. Caranya adalah dengan menggunakan alat sensor dan aplikasi, yang memberikan informasi yang dapat membantu petani untuk meningkatkan produksi pertanian, termasuk mengurangi pemakaian pupuk dan air.
Bayu Dwi Apri Nugroho (40), dosen Universitas Gajah Mada Fakultas Teknologi Pertanian adalah sosok yang berada di balik pengembangan aplikasi tersebut. Ia sudah meneliti tentang perubahan Iklim dari data sekunder sejak tahun 1980, saat perubahan iklim mulai terasa dampaknya.
Merancang aplikasi untuk membantu petani
Menurut Bayu, banyak petani yang belum mengerti tentang perubahan iklim. Bila ditanya tentang musim hujan yang berkepanjangan misalnya, mereka selalu berpendapat bahwa hal itu adalah hal yang biasa, salah musim. Akhirnya Bayu dan timnya merancang teknologi sensor untuk cuaca dan tanah.
“Saya menyebutnya AWS (Automatic Weather Sensor) yang dipasang di lahan. Setelah di pasang di lahan, ternyata petani tidak butuh sensor tersebut. Yang dibutuhkan petani adalah kepastian, apakah besok hujan atau cerah.”
Sensor yang mengambil data real time ini berperan sebagai alat pengumpul data, mulai dari data cuaca, hujan, suhu, kelembaban, kekuatan angin dan arah mata angin. Dari data tersebut, Bayu mengembangkan algoritma yang dapat membantu menerjemahkan data menjadi informasi yang mudah dipahami oleh petani. “Hasil algoritma tadi dikaitkan dengan pertumbuhan komoditas yang sedang ditanam oleh petani,” ungkap pendiri startup PT. Mitra Sejahtera Membangun Bangsa (MSMB) itu.
Awalnya, informasi tersebut dikirim kepada ketua kelompok petani dengan menggunakan pesan singkat SMS. Ternyata informasi tersebut sangat bermanfaat untuk menghindari gagal tanam dan gagal panen, sehingga produktivitas pertanian pun meningkat. “Dari 8 ton padi per hektare menjadi 12 ton per hektare,” tutur lulusan Universitas Iwate, Jepang itu.
Tahun 2018 pun Bayu mendirikan startup dan mengembangkan aplikasi untuk gawai pintar. Ada dua sensor yang ia ciptakan. Pertama adalah sensor cuaca dan tanah. Sebelum memasang sensor ini, Bayu dan timnya mengumpulkan data yang mencakup kebiasaan petani setempat, jenis pupuk yang digunakan, jumlah dosis yang diberikan, serta waktu pemupukan. Semua data dimasukan dalam variabel, yang nantinya akan menjadi bahan rekomendasi bagi petani. Dengan sensor tersebut maka dapat diketahui berapa banyak lagi pupuk yang harus ditambahkan, sehingga petani hanya memberikan pupuk sesuai dengan kekurangannya.
Sensor ini dapat menangkap data dalam radius 100 hektare untuk lahan hamparan. Namun, untuk lahan bentuk teras atau bukit, maka sensor yang dibutuhkan lebih banyak. Pemasangan sensor pun harus melalui prosedur pemeriksaan jenis tanah, sehingga tidak bisa dipasang secara sembarangan.
Sensor lainnya adalah sensor debit air di saluran irigasi. “Sensor ini menghitung debit di saluran tersier yang masuk lahan itu berapa, kita cocokan dengan fase pertumbuhannya. Misalnya pada padi. Pada fase awal, membutuhkan banyak air, dan saat mendekati musim panen, sebaiknya tidak dialiri air karena akan mempengaruhi kualitas panen,” papar Bayu.
Teknologi sensor tanah dan cuaca ini membutuhkan dana 30 juta rupiah, yang sudah mencakup aplikasi, algoritma, rekomendasi, dan notifikasi. Menurut Bayu, penggunaan sensor ini juga tidak terlepas dari berbagai tantangan seperti pencurian atau dirusak anak-anak yang bermain di sawah.